Jumat, 19 September 2014

CERPEN



                         PENGALAMAN PERTAMA MENDAKI GUNUNG SALAK


  Embun masih menetes dan kabut masih menyelimuti pagi. Dingin yang datang bersama angin menyusup ke dalam kamar seakan ingin memenuhi ruangan ini. Aku terbangun. “Brrr..adem tenan..!” Kubuka jendela. Benar, kabut masih terlihat di halaman rumah mengaburkan pandangan mata dan embun menempati rumput dan dedaunan yang segar. Pagi di rumah nenek.
Pagi hari hanya udara segar yang melegakan dada dan menenangkan perasaanku. Sepertinya tidak ada tempat yang lebih menyenangkan selain di sini. Pemandangan indah Gunung Salak yang kokoh berdiri, hamparan sawah hijau yang tertata alami, dan aliran sungai dengan bebatuan besar dan kecil yang berserakan. Di balik bebatuan itu menjadi tempat mandi ibu-ibu, anak-anak muda, gadis-gadis, maupun bocah-bocah sambil bergurau senang. Ditambah lagi suara-suara burung terdengar diantara pepohonan. Situasi seperti inilah yang membuatku selalu kangen ingin kembali lagi ke desa ini.
Pagi itu, aku ajak Tia, sepupuku, berjalan-jalan santai menyelusuri pematang sawah dan jalan setapak yang sedikit menanjak menuju desa tetangga.
“Udaranya segar, ya” ujarku sambil meregangkan tangan dan meloncat-loncat ringan. Lega rasanya. Tia tampak tersenyum. Tangannya juga mulai digerak-gerakkan.
“Mau kemana lagi,?” Tanya Tia.
“Ke puncak Gunung Salak itu, ya. Aku ingin sekali mendaki Gunung Salak,” aku berhenti sejenak. Kupandangi lekuk dan warna hijau gunung itu dari jarak yang entah berapa kilometer jauhnya. Tapi selalu saja tampak dekat dari tempat berdiri.

 Aku selalu kagum melihat timbunan tanah yang menjulang tinggi itu. Di dalam perutnya terdapat lapisan tanah dan batu-batuan yang mengandung mineral serta magma panas yang suatu waktu siap dimuntahkan. Ketika Allah berkehendak, maka gunung-gunung akan meletus dan isinya akan beterbangan bagai laron. SubhanAllah..rasanya bila sudah bisa berdiri di puncaknya, aku akan berteriak.. “Heii…aku melihat kalian!” Senangnya!
Aku memang bukan seorang pendaki gunung karena kecilku dulu tidak terlatih untuk melakukan kegiatan yang ‘menantang’, jadi aku termasuk orang yang takut akan ketinggian.Tapi kekagumanku kepada gunung melebihi pendaki gunung -amatir- yang sering melakukan pendakian, hahaha.
“Serius mau ke Gunung Salak?” tanya Tia membuyarkan pandanganku.
“Ayo, kapan ya? Aku siaplah…!” ujarku bersemangat. Aku berlari sedikit kencang dan meninggalkan Tia. Menuruni jalan setapak di daerah perbukitan sangat menyenangkan tapi juga harus berhati-hati. Aku sempat tergelincir karena kurang memperhatikan jalan bergelombang yang ada dibibir jalan setapak itu. Semangatku sedikit menghapus rasa sakit di pergelangan kaki kanan.
“Tia bilang ke Abah, ya kalau dia mau mendaki gunung,” ujar Tia setelah sampai di rumah nenek. Aku anggukkan kepala tanda setuju.
Sore hari, nenek sudah menyediakan teh manis hangat. Kami duduk di beranda rumah. Pandangan di depan mata adalah kebun bunga yang indah. Nenek memang senang menanam bunga. Dibantu oleh Pak Arya, nenek menghiasi halaman rumahnya dengan aneka bunga seperti di beranda surgawi.
“Parah mau mendaki gunung, ya?” sapa Pak Arya sedikit mengagetkanku. Pak Arya seperti kebanyakan orang Sunda yang kurang fasih melafalkan huruf F. Padahal namaku kan , Farah Maharani.
“Siapa bilang orang Sunda tidak bisa bilang F? PITNAH!”, hahaha…
“Iya,. Bisa antar ke sana, ya?”
“Baik. Nanti ajak juga beberapa saudara biar ramai, ya,”
“Memangnya kalau bertiga saja kenapa?” tanyaku penasaran. Pak Arya cuma tersenyum. Diambilnya gelas berisi teh hangat lalu diminumnya.
Pak Arya ternyata benar-benar serius mempersiapkan segala sesuatu untuk pendakian. Dibawakannya tambang plastik berukuran sedang, 2 buah pisau, 5 batang lilin beserta korek api, tikar, 3 pasang sarung tangan yang sudah terlihat lusuh, dan lentera untuk kemping. Semua diletakkan di teras rumah.
“Jam berapa kita berangkat?” tanyaku.
“Nanti jam satu malam, yah!”
“Apa?” Aku kaget, sudah tentu. Masa mendaki harus jam satu malam? Belum lagi hari masih gelap dan sudah terbayang udara dingin sangat menusuk. Jam satu malam? Tapi biarlah. Aku kan memang niat ingin mendaki Gunung Salak. Jadi…biarlah udara dingin menyelimuti di kegelapan malam.
Aku, paman, Arif, Hafidz, Nina, Ratih, Tia dan Dian ikut dalam rencana pendakian.Seperti anak-anak pramuka, kami berbaris dengan aba-aba dari Pak Arya. “Siaaap..maju..jalan!” Dengan sikap berbaris yang santai…Saat itu bulan purnama. Cahaya terangnya membantu perjalanan, dingin menusuk tulang, suara-suara hewan yang hanya terdengar malam hari, rasanya memberi sensasi mistis pada perjalanan kami menuju pintu jalur pendakian. Biasanya Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II. Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus. Lalu…jalur yang kami lalui ini termasuk jalur mana? Soalnya desa ini bukan wilayah Curug Nangka atau Cimelati. Tapi dekat dengan Curug Luhur dan desa Tendjolaya. Pak Arya tersenyum ketika aku menanyakannya. “Ini jalur warisan.,” ujar pak Arya kalem.
Lewat jalur warisan ini, kami melalui jalan setapak yang ditutupi dedaunan, ranting-ranting, dan buah-buah kecil berserakan. Semuanya terasa lembab, mungkin dikarenakan udara malam yang berkabut dan berembun. Jalan setapak ini semakin lama semakin menanjak dan harus dilalui hati-hati. Beberapa ranting yang berserakan terasa agak tajam dan di kiri dan kanan jalan penuh rimbunan pohon, ada juga genangan air. yang bisa membuat kaki terperosok. Kami harus saling berpegangan pada sebatang kayu yang dipegang beberapa orang. Pegangan tanganku pada kayu itu sempat terlepas karena kakiku terantuk batu dan aku terhuyung hampir jatuh. Aku beristighfar karena kaget. Belum selesai rasa kagetku, Nina juga sedikit berteriak dan melonjak-lonjak. ” Apa lagi?” Dengan cepat Arif mengarahkan senter ke kaki Nina. Wah…ternyata pada kakinya menempel lintah kecil. Binatang ini menghisap darah sehingga badannya yang kecil semakin lama akan membesar. Pak Arya dengan cepat melepaskan pacet itu dari kaki Nina. Duh…
sakitnya!
     “ Perjalanan melewati jalan setapak berakhir di tanah lapang tetapi masih di kelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Ketinggian tempat ini sudah puluhan meter lebih tinggi dari jalan semula. Pantas saja kakiku terasa pegal dan sempat kram. Semua yang ikut benar-benar merasa lelah. Berbekal tikar yang dibawa, kami duduk dan beristirahat dengan posisi saling mendekat. Pak Arya bilang, di tempat ini masih banyak macan siluman yang lewat. Jadilah kami tak berani berpencar saling menjauh., Suara tonggeret sebutan untuk segala jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring dari pepohonan dan berlangsung lama. Selain Tonggeret, orang Sunda menyebutnya cengreret, orang Jawa menyebutnya garengpung atau uir-uir, tergantung suara yang dikeluarkan, menambah suasana mencekam. Belum lagi angin pegunungan yang sangat dingin membuat sendi-sendi terasa linu dan bulu kuduk berdiri.Saat itu jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 pagi. Aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur karena merasakan dingin dan suasana yang mencekam. Bayangkan saja, berada di kawasan hutan Gunung Salak yang berada di ketinggian dan ditutupi pepohonan rindang. Gelap, dingin, beraroma tanah lembab dan dedaunan. Suara-suara binatang malam dan entah suara-suara apa lagi yang terdengar dan membuat imajinasi mistis saat itu. Aku tetap merapatkan tubuh ke punggung Nina. Rasanya ingin beristirahat lebih lama lagi untuk menghilangkan lelah ini. Tapi Pak Arya mulai berdiri dan merapikan barang-barang bawaannya. “Waduh… jalan lagi ya, Pak?” tanyaku dan Dian hampir bersamaan.
“Masih jauh ya perjalanannya pak?” tanya Ratih dalam perjalanan kami selanjutnya. Masih melewati jalan setapak. Berharap ada jalan besar dan beraspal, hehehe. Kembali kami jalan berbaris dan bersikap hati-hati dengan banyaknya ranting, batu, dan juga lintah. Beberapa meter jalan telah dilalui, ternyata tercium bau khas belerang. Bau menyengat belerang itu tercium di sebelah kanan . Kami penasaran ingin melihat apakah di jurang itu memang ada letupan belerang yang keluar. Tetapi Pak Arya melarang karena jurang itu sangat dalam dan untuk mendekatinya harus menyusuri semak-semak yang rimbun. Benar-benar penasaran jadinya. Terciumnya belerang sudah menandakan sudah dekatnya salah satu kawah yang ada di Gunung Salak. Dan itu tujuan akhir kami dalam pendakian ini.
 Setelah perjalanan jauh kami semua akhirnya kami melihat sunrise dan ternyata kita sudah sampai di puncak gunung salak, dan kita menggeletak di tanah sambil melihat pemandangan di puncak gunung. SELESAI……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar